MAKANAN GRATIS
Sebagai bagian warga yang rutin setiap pagi ber olah
raga di Monas, saya mengamati seorang
rekan yang memiliki kebiasaan yang patut
di puji dan dipertanyakan akan kesenangannya. Kesenangan yang sudah langkah dan kurang lazim dalam kehidupan ini dalam masyarakat perkotaan dan
secara khusus Jakarta sebagai kota metropolitan ini. Tentu yang dipuji
adalah kedermawanannya. Kedermawanan yang semakin langkah, di temui
didalam masyarakat Ibukota Jakarta ini. Sedangkan yang perlu dipertanyakan
adalah kesenangannya. Kesenangan yang
secara financial merugikan dan menguras sejumlah biaya dan tenaga. Dimana
menurut pengamatan saya, perilakunya ibarat orang membuang Garam ke laut, yaitu
suatu pekerjaan yang sia-sia. Tidak ekonomis, tidak berdaya guna dan tidak berhasil guna. Demikan ungkapan dan kata orang
yang ahli dalam manajemen pemasaran.
Kedermawanan dan kesenangan rekan ini, senantiasa
menjadi pertanyaan di dalam hati saya. Dari
tampilan sehari-hari terlihat usia orang tua ini, antara 65 s/d 70 tahun.
Fostur tubuhnya kecil dan agak bungkuk sedikit. Setiap pagi kami ber olah raga
bersama dan dia terlihat begitu setia dengan kesenangannya itu. Disela-sela olah
raga itu dia dengan senang hati menyodorkan makanan ringan yang umumnya berupa makanan
tradisional kepada siapa saja, yang datang mencari udara segar di pagi hari
itu.
Makanan tersebut adalah makanan murah
meriah kata orang Jakarta, yang sumbernya mudah di peroleh di Pasar2
tradisional. Dimana hanya dengan ditanak atau dimasak dengan cara merebus saja
sudah cukup. Sehingga menjadi santapan yang menjadi kegemaran sebagian anak
negeri ini. Makanan rakyat kata Pak Gunawan sahabat saya. Namun makanan
tersebut kurang populer, bagi masyarakat kota atau gedongan, karena bentuknya
berupa Pisang Rebus, Kacang Rebus, Ubi Rebus ,Jagung Rebus dan boleh juga
Singkong Rebus. Dia mangkal di sekitar Pintu Selatan Taman Monas. Hidangan itu dijajahkan secara gratis oleh Engkong
tua itu, disodorkan dan ditawarkan kepada setiap warga yang lalu lalang di Taman Kota kebanggaan masyarakat Jakarta
itu. Tentu engkong tua menghidangkan, makanan yang menu nya bergantian setiap
paginya.
Saya termasuk yang senang mencicipi dan menikmati hidangan rakyat itu. Wajah engkong
tua ini begitu menawan bila kami ambil sepotong singkong rebus atau beberapa
biji kacang rebusnya itu. Kadang kala dia menawarkan makanan itu dengan
diselingi siulan atau nyanyian kecil. Dari syair lagu yang diperdengarkan, saya
berpendapat dia adalah warga keturunan Tionghoa. Suku bangsa yang integral dari
penduduk negeri ini. Kalau engkong memberi
dengan riang hati. Sebaliknya kami tentu lebih senang lagi menikmatinya. Begitulah
setiap hari, dilakukannya dengan setia.
Tanpa ada sedikitpun beban di wajah Kakek dari sejumlah cucu itu. Beban untuk
mencari dan meminta balas jasa kembali.
Dari setiap orang yang lalu lalang di taman itu, misalnya berharap sejumlah
tips, untuk membeli makanan sejenisnya untuk disajikan esok pagi berikutnya.
Kesenangan ini menjadi pertanyaan besar
di hati saya. Mengapa dia lakukan itu semua, sepanjang hari dan sudah ber tahun-tahun dilakukannya.
Tanpa merasa ada sesuatu yang kurang dari penghasilannya. Kenapa itu dilakukannya. Apakah dia tidak merasa
rugi. Bagaimana sikap dan pandangan isteri dan anak pikir saya. Bukankah itu
pekerjaan dan kegemaran yang rada ganjil itu. Khususnya bagi masyarakat di
Ibukota ini. Dimana tingkat toleransi dan masa bodoh terhadap sesama semakin
tinggi?.Bukankah hidup semakin sulit dan mahal akhir-akhir ini. Ternyata ini
menjadi Pikiran dan pandangan kami semua. Khususnya warga yang
ber olah raga pagi di taman besar itu. Tentu menjadi tanda tanya besar, bagi
kami yang kurang tahu dan tidak mengerti latar bekalangnya. Mengapa pekerjaan yang kurang
wajar itu dilakukannya. Jika di hitung setiap
hari, minggu bersambung ke Bulan. Bulan berganti tahun, kan lumayan juga
nilai rupiahnya. Pengorbanan yang
sia-sia begitu guman, setiap kami yang ikut menikmati, perilaku dari engkong
tua itu.
Suatu ketika Pak Herry rekan saya,
rupanya begitu penasaran terhadap perilaku engkong tua itu. Secara iseng-iseng
dia pertanyakan. Mengapa dia melakukan pekerjaan dan perbuatan yang langkah
itu. Begini hasil penuturan singkat Pak
Herry. Sepuluh tahun silam, engkong tua ini
kena penyakit berat yaitu Stoke. Suatu
penyakit yang sedang trends dan bekens pada masyarakat perkotaan. Sekujur tubuhnya
menjadi kaku sehingga sulit bergerak dan digerakkan. Oleh keluarga di bawa ke
Dokter. Lalu Dokter menolong sebagaimana seharusnya. Dokter merawat dan memberi obat-obatan. Sebagaimana
lazimnya dokter juga menyarankan agar dilakukan terapi dengan berjalan setiap pagi. Suatu latihan dan pekerjaan harus dilakukan secara rutin dan
sungguh-sungguh. Untuk merangsang kembali otot dan syarat yang rusak dan kurang
berfungsi, akibat dari penyakit yang mematikan itu. Oleh keluarga dilatihlah berjalan
pagi di Taman Monas.
Tentu dengan Kasih sayang dari istri
dan anak serta keluarga dekat. Terapi itu dilaksanakan dengan disiplin dan
ketekunan yang sungguh2. Tidak kalah pentingnya dorongan dan semangat hidup yang tinggi. Secara
perlahan tetapi pasti, hasilnya cukup menakjubkan.
Diawalnya harus ditata titi seperti melatih anak Balita belajar jalan. Perlahan
tetapi pasti akhirnya dia boleh berjalan sendiri. Tanpa
di sadari kesehatannya menjadi pulih seperti sediakala. Bahkan kalau boleh
dikatakan lebih sehat, dibandingkan sebelum
dia kena serangan penyakit itu.
Untuk
rasa syukur itu lah rekan kami itu bernazar dan berjanji. Jika kesehatannya
pulih, dia akan melakukan sesuatu, khususnya untuk komunitas yang ber olah raga
di Taman Monas itu. Karena engkong tua itu, tidak ingin orang lain, tertimpah
penyakit yang dialaminya. Suatu penyakit yang sesungguhnya, dapat di eliminir atau dicegah. Dengan
memadukan pola hidup sehat dan menjaga
kesimbangan antara pola makan dan pola bekerja. Di setarakan dengan pola hidup
sehat melalui olah raga dan istirahat yang memadai. Demikian ringkas
cerita, mengapa sahabat kami itu melakukan hal yang rada aneh itu. Bagaimana
pandangan saudara. Sukses untuk anda.{N.Kristian Nainggolan }.