Sabtu, 18 April 2015

LIKA-LIKU MENGURUS SIM

   
LIKA-LIKU MENGURUS SIM
  {  di  }
“ SATPAS DAAN MOGOT “

              Memiliki Surat Izin Mengemudi {SIM} adalah suatu keniscayaan bagi setiap Warga Negara. Khususnya bagi yang membawa dan mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan Raya. Itulah sebabnya setiap orang dewasa yang memenuhi persyaratan, berkewajiban memiliki lisensi dan atau bukti syah untuk membawa Kendaraan Bermesin itu. Untuk memperoleh kepemilikan Surat Izin Mengemudi tentu tentu tidak membedahkan, Jenis Kelamin, Status Sosial, Pendidikan, Profesi   dan seterusnya.
               Disisi lain sebagai orangtua kita wajib mengajarkan, dan mendidik nilai-nilai kejujuran dan kebenaran dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita. Sebagai orangtua dan atau yang dituakan di negeri ini, kita berkewajibam mengingatkan anak dan siapapun, yang menjadi tanggung jawab kita. Wajib kita ingatkan kepada mereka, agar tidak berprilaku koruptif dalam dunia kehidupannya sehari-hari. Kewajiban yang berkorelasi positif dengan himbauan Abraham Samad Ketua KPK itu.
            Terkait dengan substansi yang tersurat dan tersirat, dalam judul artikel diatas, kami mau   diskusikan melalui goresan ini. Tentang Appa yang pernah kami rasakan dan keluhkan, saat berurusan dengan Institusi Pelayanan Masyarakat di Ibukota ini. Persis dan idem dito seperti judul pengalaman diatas.
PERCALOAN DISANA SINI
                 PERTAMA-TAMA, pada awal bulan Agustus lalu kami ke Kantor SATPAS Daan Mogot, untuk memperpanjang SIM. Kebetulan kami memiliki SIM BI  Umum sejak dari awal. Seingat kami hari itu Hari Sabtu. Hari libur bagi sebagian besar Birokrat, dan Profesional serta Karyawan di Ibukota. Kami pilih hari Sabtu, karena sesuai dengan saran rekan, yang pernah mengurus SIM disana, jikalau hari Sabtu ada banyak orang yang dengan sengaja, dan berniat menyiapkan diri untuk urus sendiri SIM itu. Dikerjakan dan diikuti prosedur dengan runut, tanpa menggunakan jasa pihak ke Tiga. Tentu setiap orang tentu berbeda dasar pertimbangannya, mengapa harus mengurus sendiri dan atau memanfaatkan jasa pihak lain. Banyak teman dan kenalan baru di sana pesan rekan kami sesama purnabakti dari Departemen Besar dan Strategis Sekitar Tugu Monas itu.
             Begitu sampai di lokasi Parkir Kantor SATPAS itu, kami sudah didatangi dan dihampiri penjual jasa itu. Ketika kami menjelaskan rencana untuk,  memperpanjang SIM BI, makelar dengan sebutan lain itu, berujar  Pertama-tama SIM Bapak sudah Mati. Kedua SIM bapak jenis BI. Biaya urusnya lebih besar, dibanding  SIM jenis lainnya, katanya dengan polos. Lalu kami tanya “to de point”. Berapa harganya jika anda bantu uruskan. Dengan ringan Sang Calo berkata: “ Sejuta ” saja Pak. Kok mahal amat sela kami lagi. Kan SIM bapak besar. Kalau SIM A, untuk memperpanjang cukup Bapak Bayar, dan terima jadi Lima Ratus Ribu jelasnya lagi. {Sangat mungkin dipikiran dan otak Sang Calo, kami Supir Bis dan Atau Truk Tangki BBM kali ya ?}.
           Oleh karena dari sejak awal niat kami, ingin mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan. Juga karena keuangan yang serba terbatas, sebagai Purnabakti Birokrat. Maka kami putuskan untuk urus dan jalan sendiri. Pertama-tama kami memotocopy KTP dan SIM kami yang sudah daluwarsa itu. Waktu Mengurus Surat Keterangan Dokter, kami tidak menemukan masalah yang prinsip. Hanya saja kami harus siap anteri, di depan loket dan pintu masuk  Klinik dokter Polisi di Pusat Pelayanan Masyarakat itu. Hitung-hitung Kami anggap saja ikut anterian, untuk mendapatkan, jatah BLT di Kantor Pos tiap Bulan itu.                                
PRILAKU KONYOL
               KEDUA, setelah selesai urus dan mendapatkan Surat Keterangan Dokter, Kemudian kami diarahkan masuk ke Gedung Besar di Tengah Komplek Perkantoran itu. Setelah mengurus ini dan itu kami diarahkan lagi, masuk ke ruangan Ujian Teori. Ruangan Simulasi dimana kami harus ikut ujian lagi, diminta mengunakan alat ujian teori yang namanya “SIMULATOR”. Kelompok atau rombongan kami yang memperpanjang Surat Izin itu, berjumlah  Enam Orang.  Dua orang seusia kami, dan sama-sama berstatus purnabakti. Seorang Pensiunan Militer dan seorang lagi purnabakti Profesional, dari Perusahaan Multi Nasional. Sementara yang 3 {Tiga}  orang lagi, amatan kami sepintas kaum professional yang masih berusia produktif.
             Setelah diberikan arahan bagaimana cara menggunakan alat Simulator itu, dengan segala tingkat kesulitan dan nilai lulusnya. Kami satu persatu diminta untuk mengikuti ujian teori itu. {Sejak awal sesungguhnya kami serombongan, agak keberatan untuk mengikuti Ujian Teori itu. Karena Kami bukan menbuat  SIM Baru. Secara pengalaman kami sudah lulus dan teruji dijalanan. Sekurang-kurangnya Satu Priode Umur SIM itu. Kok di wajibkan mengikuti ujian teori lagi }. Tetapi karena itu sudah ketentuan Pak Polisi, suka tidak suka kami tidak bisa mengatakan tidak mau. Tidak juga boleh berkata lain. Jika ingin memperpanjang Surat Izin Mengemudi itu titik.
            Rekan yang pertama maju setelah memperagakan dan mengikuti simulasi, nilainya gagal alias tidak lulus. Giliran yang ke 2 juga sama, gagal manning. Giliran kami sebagi  yang ke Tiga, sami maon, hasilnya juga tidak lulus. Begitu seterusnya hingga kami ber Enam, selesai mengikuti ujian teori yang penuh misteri itu. Tidak seorangpun yang lulus, alias nilai kami jeblok semua. Kemudian pak Polisi memberi kami catatan hasil peragaan Uji teori itu. Dengan instruksi  Minggu depan datang untuk diuji lagi. Kami protes dengan cara sendiri-sendiri. Rekan Purnabakti Angkatan Darat itu berkata: Saya mantan Perwira di korps Artileri. Bawa Panser saja kami lancar. Kok Ujian Teori yang satu ini tidak lulus. Sementara yang seorang lagi rekan senasib, yang tubuhnya gempol berujar: “Saya tiap Sepuluh hari sekali, keluar Kota Bawa Truk Jakarta-Surabaya”.  lancar-lancar saja di jalan, nggak ada masalah itu katanya dengan agak emosi.
               Kemudian giliran kami yang bersungut-sungut, setelah memandang wajah dan fostur Pak Polisi, yang kira-kira berusia belum genap Lima Puluh. Kami sudah untuk ke Tujuh kali ini memperpanjang SIM”. Artinya saya mau katakan ke Instruktur Simulator itu, kami sudah 40 Tahun bawa mobil. Kok harus terjegal lagi dengan ujian Simulator. Tersirat maksud kami  ketika Pak Polisi itu, masih duduk di “Sekolah Dasar” kami sudah bawa Mobil.
                 Kemudian seorang diantara kami serombongan itu berkata agak ketus: “Alat Simulator ini sudah memakan korban 2 {Dua} orang Jenderal Polisi. Seorang Bintang Dua, dan seorang lagi Bintang Satu. Serta sejumlah Pamen yang habis dan rusak karier dan masa depannya. Hingga kini  masih menjalani masa tahanan di Buih. Dan ada dalam proses persidangan dan lain sebagainya. Patut juga  Alat ini di curigai pihak KPK katanya, dengan suara yang semakin keras”. Pendek cerita kami bubar sendiri, setelah melampiaskan unek-unek. Apa yang mengganjal dan bergelora dalam perasaan hati kami serombongan siang itu.  
             Sebelum meninggalkan tempat itu dengan agak sedikit memelas, menjelaskan keinginan  kami hari ini bisa selesai perpanjang SIM itu. Seraya berkata ke Pak Polisi Instruktur Simulator itu, kami ini sudah Purnabakti Dik. Kemana kami harus menghadap lagi, agar  clear urusan ini. Tolong ajari dan beri kami solusi kata kami lagi. Akhirnya Pak Polisi memberi petunjuk agar menemui Pak Anu. Mejanya di sebelah kiri dalam ruangan ini, katanya seraya menunjuk suatu posisi.
               Kemudian kami menghadap beliau itu. Namanya Pak Suyono, Sebutan itu  terbaca dari Papan Nama dibagian Saku Kiri Baju Batiknya. Penampilannya apik, ramah dan simpati. Setelah dia bertanya apa pekerjaan kami. Serta se hari-hari kami bawa Mobil Siapa dan Jenis Apa. Akhirnya kami diarahkan Pak Polisi yang sudah agak ber umur itu. Agar kami mengulang lagi, ujian di “SIMULATOR KHUSUS” di pojok ruangan yang sama. Kami amati rekan-rekan yang ikut ujian teori di SIMULATOR yang satu itu, rata-rata semua lulus. Dengan nilai kelulusan minimal angka 60. Kebetulan Nilai kami untuk ujian mengulang kali itu, kami dapat dan capai  angka 73. Nilai yang agak lumayan, Dengan perasaan yang senang kami di beri catatan, oleh Pak Polisi Instruktur Simulator khusus ini.
              Dasar mantan birokrat yang relatif korrek dan  kritis, dalam hati kami bertanya-tanya. Sangat pasti SIMULATOR yang Satu ini sudah “dimodifikasi”. Sehingga siapa dan bagaimanapun tingkat ketidak mahiran seseorang, nilainya pasti lulus.  Tetapi sudahlah pikir kami lagi, toh kami  sudah lulus selesai titik.
              Berdasarkan catatan Nilai lulus itu, kami disuruh lagi ke loket berikutnya. Disana Kami ketemu dengan salah seorang rekan senasib, yang sama-sama Jeblok nilai sebelumnya. Bagaimana dia Kok bisa lulus. Dengan enteng dia katakan: “Saya Pakai Calo, dan Bayar 500 Ribu Pak”. Selesai sudah daripada harus ber ulang-ulang, ujian teori, katanya dengan wajah sumringah.
            Ketika kami pergi ke loket Bank, dibagian Tengah Gedung Besar dan luas itu, kami ketemu lagi seorang rekan yang lain. Sementara antri membayar biaya resmi di Loket Bank BRI. Kali ini justru teman itu yang bertanya: Bagaimana Bapak bisa lulus tanyanya. Kami minta tolong Pak Suyono Polisi di sebelah kata kami. Dia juga menjelaskan bagaimana dia boleh lulus. Katanya saya minta tolong ke Pak Polisi, yang menjaga di pintu masuk ruang ujian tadi. Kami beri Tips 250 ribu katanya, sambil berlaku ke loket berikutnya. Pengalaman yang penuh misteri, indah, menarik, dan lucu serta sekaligus konyol.
SIM KENANGAN.
                   KETIGA, SIM BI yang kami miliki saat ini, bermula dari pemberian dan hadiah, dari Kepala Polisi Wilayah Sulawesi Tengah. Bapak Kolonel Polisi B.A. Wullur. Hampir 40 tahun lalu. Kebetulan Rumah Dinas Om Kami,  saat kami Bekerja di Kantor Gubernur di Palu, hanya berjarak 5 {Lima}   Pintu.  Sehingga beliau faham dan hapal betul, sejak kapan dan bagaimana kami belajar bawa Mobil ketika itu. Satu hari  kami mengurus SIM di Kantor PolWIL {Kini menjadi POLDA Sulawesi Tengah}. Ketika kami datang bersua dengan Pak Wullur, dihalaman depan Kantor POLWIL itu {Polwil Sulawesi Tengah ketika itu  membawahi  Empat Polres}. Beliau bertanya ke kami: ” Nyong urus apa kemari ?. {Nyong panggilan bagi orang Muda, bagi Suku Minahasa}. Suku asal Kapolwil kami yang baik hati itu. Urus SIM Om, kata kami seadanya. Lalu selama ini  Nyong,  tidak dan belum memiliki SIM klarifikasi beliau lagi. Ya Om, jawab kami seenaknya. Lalu kata beliau kalau OM tahu, Nyong selama ini tidak memiliki SIM. Sudah Om suruh Anak Buah :”Tanggap dan Tilang”. KataNya sambil bergegas menuju Ruang Kerja beliau, di bagian Tengah Pusat Perkantoran Polisi itu.
               Tanpa diduga dan disangka beberapa saat kemudian, Orang tua yang berpakaian Necis itu, menyuruh “Stafnya” mencari dan menemui kami di tempat urusan SIM.  Si Ajudan sudah mengenal kami. Sedangkan dengan si Ajudan dan Supir Dinas Pak Wullur,  hampir tiap hari kami “Ber Say Hello”.  Atas arahan dan petunjuk Sang Kolonel, kami langsung diberi SIM BI Umum. Tanpa terlebih dahulu memiliki SIM A, Seperti aturan yang berlaku untuk itu.{Dikemudian hari ternyata banyak rekan sesame Pegawai, di Kantor Gubernur yang memiliki SIM BI Umum}.
               Itu sebabnya hingga kini kami memiliki SIM BI Umum, Kenangan yang indah, menyenangkan dan mengembirakan. Ibarat Sekolah kami tidak pernah duduk di SMP. Tetapi langsung masuk SMA. Lalu lulus lagi, melanjutkan  ke Perguruan Tinggi.  Jadi tujuan kepemilikan SIM berklasifikasi Tinggi, bagi kami bukan untuk gagahan atau  cari makan, diluar profesi kami sebagai Birokrat hingga purnabakti.

SERBA SALAH DAN TIDAK SEPATUTNYA DILAKUKAN.
             KEEMPAT, pada sisa lain tidak terasa sudah hampir 2 {Dua} Tahun ini, putra kami yang ke Tiga naik atau mengenderai Sepeda Motor ke Sekolah. Tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi. Jarak Rumah kami dengan Sekolahnya, Kurang lebih Satu Kilo Meter. Kini dia sudah ber usia 17 Tahun, dan belum terlalu lama memiliki sebuah KTP. Kegembiraan memiliki Identitas itu, bermula dari Dia berhak dan boleh mengikuti Pemilihan Presiden, pada tanggal 20 Juli yang lalu. Pengalaman yang mungkin menjadi kenangan bagi nya sebagai warganegara yang berhak menggunakan hak pilih untuk pertama kaliNya.
            Dengan alasan rencana tahun depan dia akan kuliah, kami  sebagai orangtua ikut  berpikir dan terdorong, untuk melengkapi dirinya dengan sesuatu kewajiban bagi setiap warganegara. Yaitu  memiliki Surat Izin Mengemudi dari Institusi Kepolisian itu. Sehari-hari yang kita kenal dengan sebutan SIM C itu.
             Sebelumnya anak kami sudah bercerita banyak, kepada  Ibu Nya di rumah. Bagaimana lika liku teman SekolahNya,  memperoleh lisensi yang dikeluarkan Institusi Kepolisian itu. Baik itu rekannya ketika  di SMP beberapa tahun lalu. Maupun teman SLA,  di sebuah SMA Negeri Jakarta Barat. Rekan sesama remaja itu  bercerita banyak, seluk beluk untuk mendapatkan Lisensi itu. Antara lain  saran mereka sebagai berikut: “Sebaiknya cari jalan pintas saja. Kalau ikuti prosedur sebagaimana biasa.  Ente tidak akan lulus, kata rekannya dalam bahasa Betawi yang kental. Sementara yang lain katakan: Bisa berkali-kali dan harus ngulang, Ujian Teori atau Ujian Praktek kata yang lain. Mengulang Ujian itu tidak bisa besoknya.  Tetapi  Dua minggu berikutnya, pesan temannya yang lain. Bayar sekian-sekian kepada Oknum Pak Polisi atau melalui calo beres. Tunggu Satu Dua Jam, jadi de barangnya”. Begitulah antara lain cerita Anak kami ke sang Ibu Nya.
             Orang rumah mengklarifikasi  rumor atau rahasia umum bentuk pelayanan itu kepada kami. Dengan pertanyaan apakah sudah sesadis dan parah itu mengurus SIM di Negeri ini, tanyanya dengan memelas. {Tentu diskusi soal ini,  tidak didengar dan diketahui oleh Putera kami itu}.
              Kebetulan Abangnya Putera kami yang Sulung sudah Bekerja, membantu dan memberi Adiknya itu sejumlah uang, untuk urusan dan mendapatkan SIM itu. Jumlah yang  lebih dari cukup, dengan catatan jika kita mengurus sendiri, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sebagai orangtua yang sudah purnabakti, dari Satu Departemen Besar. Kami siap  menemani anak kami itu, mengurus SIM yang dia impikan dan dambahkan itu. Pertama-tama sebelum pergi mengurus keinginannya itu, kami bersepakat dulu dengan  anak kami itu. Hari Sabtu saja ke Kantor SATPAS di Jalan DAAN  MOGOT Jakarta Barat itu. Dengan pertimbangan  Hari Sabtu, hari libur Sekolah di Ibukota Jakarta. Kedua, Kami bertanya lagi ke Dia, apakah kita urus seperti yang dikatakan teman-teman mu itu. Melalui jasa tidak resmi Oknum Polisi atau Calo itu. Anak kami kembali bertanya ke kami. Kalau nurut Papa mana yang sebaiknya. Tentu sebagai orangtua kami ingin mengajarkan, nilai-nilai etika kehidupan kepada anak kami itu. Sebaiknya kita ikuti saja prosedur biasa. Papa juga sudah Pensiun. Cukup waktuku  menemani kamu nak, kata kami menyakinkan Anak Remaja kami itu. Muda-mudahan Nasibmu, tidak seperti cerita teman-teman itu lah. Kata kami menyakinkan anak kami yang beranjak dewasa itu  
             Pada hari yang disepakati kami pergi ke Pusat Pelayanan Public, yang terkenal dan dikenal warga dan masyarakat Ibu Kota itu. Ketika memarkir Kendaraan di lapangan Parkir, kami langsung didatangi dan ditawari Calo, yang sengaja cari mangsa di halaman parkiran itu. Si Calo mendekat ke kami, dan dia menawarkan jasa baiknya. Saya bisa bantu bapak atau putera bapak urus  SIM, dengan cara  jalan cepat katanya berterus terang. Seperti layaknya  Pedagang Kaki Lima, Sang Calo menyebutkan harga Pasaran Urusan Sim C baru.  Hanya 7.00 Pak, katanya dengan enteng. Kami agak penasaran lalu mengklarifikasi Kembali. Tujuh Ratus apa  ya?. Sang Calo Jawa spontan,  Tujuh Ratus Ribu Pak.
             Kami termenung sejenak, mengingat cerita anak kami itu kepada Ibu Nya di Rumah. “Serupa tapi tidak sama, atau sama tetapi tidak serupa”. Dengan cerita  dan pengalaman teman-teman anak kami itu. Lalu si Calo berupaya meyakinkan kami. Kepada siapa pun Bapak minta tolong, {maksudnya di SATPAS Daan Mogot itu}. Sudah pasti harga sebegitu. Kalau ada yang dibawa itu, selisih uang Bapak saya kembalikan katanya. Suatu bentuk  promosi dan sekalian ancaman. Pernyataan yang agak arogan itu,  membuat hati anak kami agak kecut mendengarkannya.
             Kami diam seraya mengajak anak kami itu pergi ke loket dan bagian Foto Copy. Untuk menggandakan  KTP. Sambil berjalan anak kami berkata: “Apa yang dikatakan teman-teman ku itu, ternyata  semua benarkan Papa”.  Katanya dengan suara yang agak pelan.  Begitu selesai petugas menfoto copy KTP anak kami, Petugas yang sama  menawarkan lagi, ke kami kelengkapan atau alat yang diperlukan berupa “Boll Point Hitam dan Pencil 2B”,  Untuk alat tulis menulis untuk mengisi Formulir dan alat bantu untuk ujian teori pada tahap berikutnya. Tentu saja ke Dua Jenis alat bantu itu, dijual  dengan harga yang relatif lebih mahal, jika kita beli sendiri di Warung disekitar  rumah.
             Selanjutnya anak kami ikut antrian lagi, untuk mendapatkan Surat Keterangan Dokter. Surat Keterangan itu relatif mudah didapat. Yang penting ikut berbaris seperti warga dapat Ransum dari kantor kelurahan. Anak kami berkata “Abang tidak ketemu dengan Dokternya”. Tetapi Surat Dokter sudah ada Papa, katanya dengan polos. Didalam Surat keterangan itu diberi catatan berupa tulisan dan kode-kode, yang kami kurang fahami makna dan maksudnya. Ditulis pakai  Spidol kecil, berwarna warni. Untuk biaya urusan Surat keterangan Dokter, Anak kami mengeluarkan Dua Puluh Lima Ribu Rupiah.
             Setelah selesai urus Surat Keterangan Dokter, masuklah kami  keruangan Pelayanan Urusan SIM itu di bagian Tengah dari Komplek yang relatif luas itu. Disana kami menemui persoalan. Anak kami boleh masuk, sementara kami sendiri sebagai pendamping tidak di izinkan masuk.  Setelah terjadi tawar menawar dengan menyebutkan, pekerjaan kami purnabakti Birokrat.  Serta melihat dan menunjuk sejumlah Calo boleh keluar masuk. Pada akhirnya Pak polisi Penjaga Pintu itu, mengizinkan kami masuk, kedalam ruangan yang penuh dengan warga Jadetabek. Para mencari dan mengurus Surat Izin Mengemudi itu.
             Ada yang membuat SIM Baru, dengan berbagai jenis itu. Ada yang memperpanjang dan, ada juga yang mengurus mutasi dari dan ke Jakarta. Tidak kala juga ada yang urus soal2 administrasi lainnya. Seperti pindah alamat RT dan RW atau Kelurahan. Serta ada juga yang agak usil, mengurus “Gelar yang Baru” didapatkan dari berbagai Perguruan Tinggi Dalam dan Luar Negeri. Sebelumnya mungkin belum dan tidak mencantumkan Gelar. Tentu ada juga yang menambah Gelar baru lagi. {Hobby dan trends baru Anak Bangsa di negeri ini, gemar dan suka mencari dan berkoleksi gelar} 
              Selanjutnya didalam ruangan itu kami bertanya ke petugas Informasi, untuk langkah selanjutnya. Karena putera kami Urus SIM Baru. Kami diarahkan masuk ke Loket Pembayaran SIM C. Biaya resminya  Rp 100.000,00 dan kita setor ke Kas Unit Bank BRI yang ada tersedia disitu. Serta ditambah Biaya Assurani, sebesar Rp 30.000. Sesungguhnya total biaya resmi itu hanya Rp 155.000,00. { Biaya Surat Keterangan Dokter + Biaya Resmi dan Assuransi}. Perbandingan yang sangat jauh jika diuruskan,   via Calo atau Oknum Polisi. di area Pelayanan Public yang mungkin terbesar di Ibukota ini.
              Setelah mengisi formulir ini dan itu, selanjutnya anak kami diminta serahkan ke loket penyerahan daftar isian itu. Dari sana di suruh anteri dan masuk ke ruang Ujian Teori. Diruangan ujian ini, kurang lebih 30 Menit. Setelah itu keluar, butuh waktu menunggu lagi hasil Ujian Teori. Untuk dapat hasil ujian anak kami, menunggu lagi selama Satu  Jam. Puji Tuhan ternyata putera kami belum lulus ujian teori itu. Walaupun dia merasa mampu mengerjakan soal-soal pertanyaan Ujian itu. Karena sebelumnya dia dapat bahan soal ujian, yang relatif sama dari teman sekolahnya diatas.  Dari hasil ujian itu ternyata banyak dari teman-teman putera kami, seruangan yang yang tidak lulus. Sehingga dia tidak begitu kecewa. Walaupun agak penasaran mengapa jawabannya, ternyata lebih banyak nilai salah dari yang benar. Dari 30 Pertanyaan yang harus di jawab. Menurut catatan penilaian di dalam lembaran yang diberikan kepada anak kami, Dia ternyata hanya bisa menjawab 14 Pertanyaan Benar. Sementara jawaban yang salah 16 Pertanyaan. Sementara untuk nilai Lulus minimal 18 Jawaban harus benar.
            Pada saat yang sama kami amati, dan pertanyakan kepada peserta lain. Pertama Nilai yang tidak lulus itu. Berkisar diantara angka 13 dan angka 14 saja. Kedua para peserta yang urus sendiri, lebih banyak yang Tidak Lulus dari pada yang Lulus {Sangat mungkin perbandingannya 4 : 1 atau 5 : 2}. Tetapi bagi peserta yang diurus pihak ke Tiga, dijamin semua langsung lulus. Ada yang Satu Rombongan 4 Orang, yang lain 6 Orang dan ada juga dalam Partai Besar 12 Orang. Semua lulus lewat jasa yang kami kemukakan sebelumnya.             
MEMBUAT HATI TERPUKUL.
            Sementara itu dengan keisengan kami bertemu seorang Ibu, yang punya “Pengalaman menarik untuk direnungkan”. Di awal tahun lalu Anak Gadisnya urus SIM C. Dibutuh waktu 4 X Ujian Teori baru lulus. Dia memang tidak urus lewat Calo, tetapi diurus sendiri. Melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Puterinya  butuh waktu, 2 {Dua} Bulan untuk dapat SIM C itu. Mama rasa2 nya Urus SIM itu kok lebih Sulit, dari Ujian Fisika atau Mata Pelajaran Kimia kata sang anak. Ujian untuk memperoleh SIM di Satpas ini, dengan misteri dan penuh ketidak pastian, keluhnya  kepada Sang Ibu. Karena merasa penasaran Ibu itu, coba urus lagi SIM untuk dia Sendiri. {Sesungguhnya sebagai Ibu Rumah Tangga, dia tidak terlalu membutuh SIM}. Tetapi karena rasa penasaran yang tinggi. Si Ibu itu akhirnya putuskan urus juga SIM C itu. Ketika kami ketemu di Siang itu, Ibu Rumah Tangga seusia Ibu anak2 kami di rumah, Dia sudah Gagal Ujian Teori untuk yang ke Tiga kalinya. Dengan wajah yang memelas dia berkata: “Muda2an Dua Minggu lagi, saya baru lulus. Sangat mungkin nasib saya, seperti anak gadis saya itu Pak”. Katanya kepada kami sambil pamit.
             Kami tidak tahu dan faham perasaan yang menganjal, dan unek-unek yang bergejolak didalam hati Ibu itu. Tetapi yang pasti Ibu itu dan Anak Gadis nya, membutuhkan sekurang-kurangnya nilai total gagal Nya 6 X. Pada Satu sisi kami kagum dan menaruh rasa hormat kepada Ibu itu. Karena dia tidak mau bermain kotor, dengan Oknum Aparat dan atau Calo. Disisi lain kami merasa ibah dan kasihan melihatnya. Dipimpong kesana kemari, tanpa ada kepastian. Oleh Karena tidak mau melakukan hal, yang tidak sepatutnya dia lakukan. Anda bisa membantu rekan kami itu?.
NEGERI SUKA BER-BASABASI
              Untuk memperoleh Sebuah Surat Izin Mengemudi. Sesuatu yang seharusnya tidak mesti sesulit realita diatas  untuk memperolehnya. Karena kesan dan pesan itu tersurat dan tersirat di sejumlah sudut, di Komplek Pelayanan itu, dengan Spanduk Besar tertulis “Himbauan Angin Sorga” yang antara lain berbunyi : “Sebaiknya anda Urus Sendiri, Surat Izin Mengemudi yang anda butuhkan”. “Hindari berurusan dengan Calo”. “Laporkan kepada Petugas kami , jika ada Calo yang mencoba, Mengganggu Saudara”. Dan lain-lain kalimat dan ajakan ber basa basi. Hal yang menjadi bagian dan adat baru, dari hidup kehidupan anak bangsa ini. Negeri yang penuh Jargon, yang membuat hati senang secara psikologis. Tetapi dongkol secara realistis. Kata seorang rekan yang sudah gagal untuk ke Tiga kali mengurus SIM A, untuk prasyarat mengemudikan Mobil beroda Empat.
PERLU REVOLUSI MENTAL
             Pertanyaan Besar kami dari 2 {Dua} pengalaman dan pengamatan  diatas, kami ingin urun saran dan pendapat, untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya menepis “Dunia Percaloan di Satpas itu”. Perlu dan sudah waktunya dilakukan Terobosan Baru. Semisal saja  menghilangkan dan atau mengurangi jumlah Loket, dan atau Meja Birokrat yang ada di Pelayanan Public di Ibukota itu. Sekurang-kurangnya amatan kami ada lebih dari 40 {Empat Puluh} Loket dan atau Meja yang harus di singgahi oleh pencari Jasa Urusan Hajat orang banyak itu. Loket dan Meja Birokrat sejumlah itu hampir pasti, punya potensi dan memberi peluang untuk “di Permainkan dan di Mainkan” Segerombolan Oknum Petugas atau Aparat dan Mafia Calo-calo itu. Setidak-tidaknya mungkin pendekatan, System Satu Atap untuk Urusan Perizinan, yang berlaku dibeberapa Institusi pelayan lain, bisa di uji coba di Satpas itu. Atau kalau dimungkinkan dicoba dan dicontoh pola “ On Line “ untuk Penjualan dan Pembelian Tiket Kereta Api, yang di gagas mantan Dirut KAI, Pak Ignatius Jonan {Menhub Kabinet Kerja saat ini}. Juga cara kerja Kantor Imigrasi, dalam mengurus dan pembuatan Pasport Baru dan Perpanjang Pasport yang berbasis IT, yang lagi diuji coba di sejumlah Kantor Imigrasi di Ibukota Jakarta saat ini. Boleh juga mencoba pola Dunia Perbank kan yang sudah familier dengan pola IT itu.        
SARAN BAGI MENPAN & RB
             Sangat tepat diawal Pemerintahan JOKOWI–JK. Menteri PAN & RB, Bapak Yuddy Chrisnandi, Blusukan ke Kantor Satpas Polda Metro Jaya itu. Jangan dulu beliau pergi jauh2 ke Daerah. Disekitar Jakarta dululah. Karena kalau beliau kunjungi, “Satpas Daan Mogot”, itu akan ber imbas positif kepada kepelayanan yang sama di Daerah-Daerah.
             Karena dijamin ada liputan Media Massa yang ramai, intens  dan Gencar. Gayungnya sangat pasti, akan sampai ke Daerah-Daerah. Kali berikutnya silahkan Pak Menteri, cek secara acak di berbagai Daerah di Nusantara ini. Semoga dampak dari pantauan di Jakarta ini, akan berimbas positif. Membuat Aparatur dan Institusi yang sejenis di Daerah was-was dan berbenah diri. Untuk meningkakan kualitas Pelayanan, kepada masyarakat di Daerah-Daerah.
P E N U T U P.

           Pemikiran dan gagasan ini hanya saran dan pendapat rakyat kecil.  Semoga Bapak dan Ibu yang berada di Lembaga Eksekutif dan Legislatif di Senayan sana, berkenan dan mau mendengar jalan pemikiran rakyatnya. Pemikiran ini terbertik dari hati nurani, yang dalam. Kedua sebagai mantan birokrat yang pernah mengabdi, selama 36 Tahun 4 Bulan, kami juga pernah berbakti untuk kejajayan negeri ini. Hanya saja posisi kami saat lalu, sebagai Pegawai Rendahan {Kelas Pesuruh}. Disamping itu bodoh lagi. Sebab kurang ditunjang Pendidikan yang memadai. Kami yakin apa yang tergambar dari pengalaman dan pengamatan diatas, bisa  Bapak dan Ibu lakukan saat ini juga. Hanya dengan Satu prasyarat. Adakah Goodwil atau Kemauan untuk Melakukannya. Dalam bahasa Kampanye Presiden JOKOWI lalu. perlu “REVOLUSI MENTAL”. Secara khusus Revolusi Mental didalam mengurus, Urusan Surat Izin Mengemudi. Menuju pelayanan yang  baik dan prima di negeri kita ini. Apakah mimpi penulis kali ini dimungkinkan berubah ?. Jawabnya mari kita tanyakan sajalah, pada  Rumput yang bergoyang. Horas Mauliate {Pak Nainggolan}. Acc.12.11.2014            

2 komentar:

  1. artikel menarik
    jadi tahu tempat sim sekarang
    terima kasih ya

    BalasHapus
  2. setelah dengan berat hati melepas anak dengan Istighfar untuk mengurus SIM dengan cara yang "apabileh buat".. ALhamdulillah di periode saat ini tidak ada atau sedang tidak ada merata percaloan di Daan Mogot.. Kalau kata supir2 taksi, mungkin ada pergantian pejabat, mungkin ada pemeriksaan.. Biasanya akan balik lagi seperti sedia kala.. Tapi, ternyata tanpa calo tetap pelayanan agak memprihatinkan, anak saya akan kembali untuk ketiga kali.. dia lulus di tes teori kedua, setelah dengan serius mempelajari soal yang ada di web resmi ditlantas.. tidak bisa langsung tes simulasi, karena sudah masuk bulan puasa, menunggu diantrian panjang di bawah terik matahari amat sangat menyedihkan.. sehingga berniyat akan lanjutkan perjuangan hari ini.. Harapan kami sekeluarga, untuk pelayanan prima, seharusnya diberikan sistem seperti di kantor Imigrasi.. kita diberikan nomor tunggu yang jumlahnya dibatasi per hari, dipanggil sesuai urutan.. Bukan harus ngabring nunggu tanpa tahu kapan akan dapat giliran dan bisa-bisa sudah nunggu seharian harus kembali lagi esok hari, karena berbatas waktu jam 5 sore..

    BalasHapus