Senin, 17 Maret 2014

OPUNG DOLI

OMPUNG DOLI & KUA FU.

           Menjadi kurang lengkap dan kurang afdol  rasanya, jika berbicara fasilitas kota seperti Taman Monas, tidak menyinggug pemanfaatan fasilitas Taman Monas dari presfektif lain.  Penggunaan taman kota itu, untuk yang bersifat sangat pribadi. Melengkapi pandangan mata saya, tentang Taman Monas di pagi hari, tentu anda tidak akan keberatan, jika saya sodorkan apa yang saya lihat dan amati dari sisi lain. Bagaimana taman kebanggaan warga Jakarta ini, memanfaatkannya  dari presfektif “perselingkuhan”. Kalau anda agak keberatan boleh juga dianologikan dengan dunia kencan, kata orang yang berjiwa muda. Sebab berbicara tentang taman kota, rasa2nya, nggak lengkap jika titik pandang kita tidak sampai kesana. Kata rekan  saya Pak Robby, makan yang enak sekalipun akan hambar jika, tidak di beri Garam yang cukup.   Karena perlingkuhan  adalah bicara sisi lain perilaku kaum Adam dan Hawa. Bagian  yang tidak terpisahkan dari bagian kehidupan manis dan pahit manusia. Termasuk diantara kami warga yang menjadi pelanggan  tetap, dari taman kota  tersebut.
          Mari kita mulai. Seorang rekan kami kebetulan berasal satu suku dengan saya. Keberadaan rekan ini, sekali-kali   menjadi bagian topik diskusi  kami di pagi hari itu. Sama dengan hikayat seribu satu malam, begitulah arah dan thema cerita pagi kami mengalir begitu saja.  Apa topik dan thema tidak terikat. Siapa yang membuka awal pembicaraan juga bebas dan apakah pembicaraan tuntas atau perlu di diskusikan hingga tuntas atau tidak sangat tergantung mood kami saja. Sebut saja fam atau marganya Bapak Marganda. Usiannya sudah relatif matang, kira-kira diatas 60 tahunan. Fostur tubuhnya atletis, berisi dan tampang penampilannya. Kulitnya agak kehitam-hitaman. Dari jauh kulitnya mirip kulit Saudara-saudara kita dari Nusa Tenggara Timur. Dia senang pakai celana pendek, dipadu dengan baju kaos atau hem yang sesuai pasangan warna celana olah raganya itu. Sepatu olah raganya juga kwalitasnya baik, harmonis serasi kelihatannya. Ditambah lagi ukuran tubuhnya  gempal. Dilengkapi dengan sebuah Handuk kecil yang dipasangkan di leher dan atau di kantongi di celana pendeknya. Dimana sebagian berada di luar, sehingga  terlihat terurai di luar begitulah adanya.

            Langkahnya relatif cepat dan teratur kelihatannya. Dari wajah dan penampilannya terkesan bagi saya rekan ini, pastilah pemuda idola  dimasa mudanya. Sangat mungkin dia berprinsip, umur boleh lanjut. Tetapi jiwa harus tetap muda. Setiap hari dia berjalan, mengelilingi putaran tengah atau putaran luar Taman Kota itu. Dari usianya sebagaimana biasanya, orang seperti dia itu sudah tepat dan pantas disebut Ompung. Ungkapan bagi seorang lelaki yang sudah berumah tangga dan usianya cukup matang. Secara spesifik orang Tapanuli menyebutnya Ompung Doli. Mungkin sama lah itu sebutan Mbah Kakung, dalam sebutan bahasa, Pak Herrry rekan saya yang berasal dari Suku Jawa Timuran itu.
            Si Ompung Dolli ini bersahabat dekat dengan seorang Ibu diatas paruh baya. Seorang wanita yang keturunan Tionghoa. Wanita ini dalam sebutan bahasa Mandarin menurut Pak Aheng ke saya, sudah layak di sebut KUA FU. Seorang Wanita setengah umur.
         Belum terlalu jelas apakah rekan  wanita kami ini, masih berstatus ber suami atau sudah bercerai. Namun yang pasti wanita ini, adalah sabahat special  dari rekan kami si Ompung Doli itu. Kami belum dan tidak tahu persis mereka berdua berdomisi, disekitar mana di Ibukota ini. Menurut rekan saya Pak Julius, bahwa wanita si KUA FU ini, adik dari rekan bisnis si ompung ini sebelumnya. Tetapi bagaimana awal perkenalan dan hubungan mesra mereka saya kurang faham betul. Hanya saja amatan kami sementara, mereka hampir setiap pagi pasti bertemu secara rutin. Biasanya diawal pagi mereka datang dan berjalan sendiri-sendiri. Dua atau tiga putaran, barulah mereka bersua dan berjalan cepat bersama sama. Biasanya pertemuan pagi itu, di mulai dengan  sapaan ciuman pipi. Serta dilanjutkan berjalan berdua dan seterusnya. Begitulah setiap pagi mereka bertemu ria, secara kasatmata dalam amatan kami. Apa yang mereka sepakati, setelah selesai ber olah raga ria di Taman itu, kami tidak tahu dan tidak mau tahu lagi. Itu urusan perivasi dari setiap warga kota.
         Hanya saja bagi saya si  Ompung Doli ini, terkesan menutup diri ke rombongan atau kelompok kami. Utamanya dengan saya peribadi, mungkin dia  agak menjaga jarak dengan saya, (Ini hanya assumsi dan perasaan saya semata saja). Kemesraan mereka kadang jadi topik pembicaraan, diantara kelompok2 kami saat  ber olah raga ria di taman itu.  Pak Togar seorang rekan saya yang kebetulan satu suku dengan saya mengatakan, dalam bahasa Daerah : Onma na di dokkon, ama-ama nasotarpareso dohot ina-ina na so tarpincang. Kira2 dalam bahasa Melayu diartikan sebagai seorang ayah yang suka berselingkuh dan seorang Ibu yang tidak jujur kepada suami dan anak2nya.

         Terlepas dari apapun dampak ikutannya,  ternyata fasilitas  seperti Taman Monas ini, disamping cocok mengisi waktu untuk berolah raga di pagi hari. Taman kota ini   ideal juga untuk ber curat hati, bagi sebagian warga kotanya. Bukan hanya kalangan remaja yang memanfaatkannya. Tetapi kalangan yang sudah uzur pun melakukannya.  Terlepas dari persoalan apakah mereka satu muhrim atau tidak. Bagaimana pandangan anda terhadap komunikasi intens, dari dua makluk Tuhan yang berlainan jenis itu. Anda sajalah yang merekah-rekahnya. Sukses untuk anda. {N. Kristian Nainggolan }.             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar